Semangat “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” yang lahir dari sentimen
nasionalisme jelas berbahaya.
Setelah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memperkenalkan ‘Islam
Indonesia’, giliran berikutnya Presiden Joko Widodo menyebarkan apa yang
disebutnya sebagai ‘Islam Nusantara”. Ia menyebut istilah itu saat membuka
acara Istighasah dan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama di Masjid
Istiqlal, Jakarta (14/6).
Menurut Jokowi, Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang penuh sopan santun
dan toleransi. “Hampir semua perwakilan negara sahabat selalu bertanya kepada
saya, kok bisa penduduk banyak dan beda agama tapi bisa rukun,” kata Jokowi.
Para perwakilan negara tetangga, menurut dia, juga kerap heran melihat orang
Indonesia murah senyum. Menurut Jokowi, kebiasaan orang Indonesia itu ada
karena pengaruh agama yang kuat. “Saya jawab saja, kalau di Indonesia, senyum
itu dianggap ibadah dan ada pahalanya.”
Hal ini berbeda dengan Islam di negara-negara Timur Tengah. Walaupun
didominasi kaum Muslim, negara-negara di daerah itu kerap dilanda konflik.
Jokowi berujar, sejak terbentuk, Indonesia selalu mempertimbangkan nilai-nilai
keislaman. Menurutnya, para ulama Nahdlatul Ulama sangat berperan dalam memberi
corak rumusan akhir Pancasila.
“Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia. Ini adalah sumbangan otentik
yang nyata dari para ulama,” tuturnya.
Berbahaya
Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman menyatakan, Islam dengan
berbagai labelnya seperti “Islam Indonesia”, “Islam Nusantara”, atau “Islam
Timur Tengah” sebenarnya sama dengan istilah “Islam Radikal”, “Islam Militan”,
“Islam Moderat” atau yang lain.
Pengkotak-kotakan seperti ini, menurutnya, sebenarnya murni merupakan bagian
dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam. Ini sebagaimana yang dituangkan
dalam dokumen Rand Corporation. Strategi penghancuran ini dibangun dengan dasar
falsafah “devide et impera” atau politik pecah-belah. Begitulah bahaya di balik
ide ini.
Selain itu, tandasnya, semangat “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”
yang lahir dari sentimen nasionalisme jelas berbahaya. Nabi SAW sendiri
menyebut sentimen nasionalisme itu sebagai“muntinah” [barang yang busuk].
Apalagi ide “Islam Indonesia” atau “Islam Turki” telah didesain dan
dimanfaatkan oleh Amerika dan negara kafir penjajah untuk melepaskan umat Islam
dari Islam yang sesungguhnya. Ini bagian dari penyesatan politik dan pemikiran
yang jelas berbahaya.
Islam yang Satu
Meski Islam hanya ada satu, kata Yahya, tidak menutup mata adanya perbedaan
di dalamnya karena faktor perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan
seperti ini dibenarkan dalam Islam karena dua alasan. Pertama: karena adanya
nash-nash syariah yang zhanni tsubut [sumber] danzhanni dalalah [makna]-nya.
Kedua: karena kemampuan intelektual umatnya juga berbeda-beda sehingga
memungkinkan perbedaan dalam memahami nash-nash syariah.
Meski demikian, ia menegaskan, ukurannya jelas. Ia mengutip pendapat ‘Ali
bin Abiy Thalib ra bahwa:Janganlah kamu mengenali kebenaran dengan melihat
orangnya. Kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan mengenali orang yang
mengusungnya (Imam al-Ghazali, Al-Munqidz min adh-Dhalâl).
Ia menandaskan, mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali pada
sumbernya, bukan kepada orangnya. Sumbernya adalah Alquran, as-Sunnah, Ijmak
Sahabat dan Qiyas. “Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat
dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang maka siapapun dia,
dari kelompok atau organisasi manapun, serta apa pun yang dibawa dan
disampaikan itu bukanlah kebenaran; bukan Islam. Begitulah cara seharusnya
menilai kebenaran Islam,” kata Yahya.
Ia pun menyatakan, konflik di Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya
itu bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus-menerus membara karena
strategi penjajah Barat untuk terus-menerus menjajah wilayah ini. Wilayah ini
telah menjadi ajang pertarungan antara Inggris, Amerika dan Prancis.
Makanya, katanya, sangat naif jika konflik Timur Tengah dikaitkan dengan
ciri keislaman kaum Muslim, apalagi dikaitkan langsung dengan Islam. Pasalnya,
muara dari konflik-konflik itu bukanlah Islam. Justru Islam itu solusi. Namun
masalahnya, umat Islam belum mau mengambil kembali Islam sebagai solusinya.
Mereka lebih percaya pada ideologi penjajah yang justru hendak menghisap darah
dan kekayaan alam mereka. Akibatnya, konflik antar sesama kaum Muslim itu tidak
pernah reda, bahkan terus membara. [] abi nabhan
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 153
Dari <
http://hizbut-tahrir.or.id/…/24/jualan-jokowi-islam-nusant…/>
==============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
==============================
Profile Amir Hizbut Tahrir:
http://bit.ly/133rkTd
Jika Saudara/i ingin mengkaji Islam dan berdakwah bersama HIZBUT TAHRIR
INDONESIA silahkan mengisi form yang kami sediakan di
bit.ly/gabungHTI
Insya Allah, syabab Hizbut Tahrir di daerah terdekat akan segera menghubungi
anda. (jika lebih dari 2 minggu, saudara/i bisa memberitahukan lewat pesan
inbox)
==============================
Website :
www.hizbut-tahrir.or.id
Youtube :
http://www.youtube.com/htiinfokom
Google+ :
https://plus.google.com/+HizbuttahrirOrIdOfficial
Facebook :
https://www.facebook.com/hizbindonesia
Twitter :
https://twitter.com/hizbuttahrirID
Instagram :
https://instagram.com/hizbuttahririd
===============================